Senin, 28 Juli 2008

PUISI-PUISI MAHMUD JAUHARI ALI DALAM BENTUK MEDIA MASSA

Mengajakmu

selia,

sudikah, jika tanganmu yang bagai kelemayar kugandeng mesra

kita sisiri tanah-tanah huma, riak-riak sungai,

dan gambut-gambut legam. akan kutunjukkan padamu kayu-kayu

tak berjangat, juga laluan retak dan terburai

kala kau letih, akan kusilakan dirimu merebah

tanpa kipasan di bawah terik kerontang

jika kau lapar dan dahaga

akan kuhidangkan piring dan gelas kaca yang kosong

kubiarkan saja begitu, agar kau reguk dalam-dalam fenomena ketar

listrik padam, harga beras mahal, air bersih macet total

dan sebelum kau pulang, aku akan menanya,

siapakah kau yang selama ini duduk di antara malai mewangi

Kalimantan Selatan, 16 Mei 2010

Senjang



kilau wajahmu, oh selia

membabat deru pendedah malakutmu kala jerimu terlonjak

di senja merah

sesaat lidahku kelu saat rembukmu melekati batu belah

kian membelah dan memisah,

bagai kedua bibirmu saat disela napas-napas besar

terus seperti itu, memihak bunga-bunga berjelaga dalam kelam

sementara sulur-sulur di bawah batu

hanyalah rimpi yang kaumakan dengan nafsu di persenjangan ini


Kalimantan Selatan, 23 Mei 2010

Aku Rindu Suaramu

di antara angin santun kau masih berdiri dekat ringkik kudamu

sambil bermusik, rambutmu yang lurus kausibak,

terbelah dua, sungguh berbinar-binar

memaksa burung-burung pulang ke sarang mengibas sayap

mengusir debu, dengan mata menyala dan kepala yang mendongak

setiap hari kudengar kau bermain gitar klasik di serambi depan

tanganmu yang gemulai mendayukan suaranya

melebihi syair lampau yang merayu-rayu

lalu di mana suara beningmu, selia?

di sini, yang ada suara gitarmu saja

setiap sore, setiap petang aku menunggu suaramu

suara yang pernah membuatku jatuh hati pada kersik pasir

dan juga daun-daun lalang. berkali-kali pula air kopiku mendingin,

tapi suaramu tetap tak kudengar walau sekadar membelaiku

kini aku seperti remaja yang merindu, selia

menatap sepi di tanah kita yang semula hijau memukau

sementara waktu tak mau berhenti

dan aku masih merindukan suaramu

Kalimantan Selatan, 30 Agustus 2010

Bersama Selia

selia, ingatkah di pinggir jalan ini kau pernah menyapaku

senyummu merekah meredam dendam. begitu renyah kumamah

binar matamu disertai rambut hitam jengatnya

seakan deras hujan mengguyur bara-bara di dahaga

yang memanjang

dan tepat di bawah matahari bulat memancar

kaugenggam sebuah sapu tangan bermotif kotak kotak kecil,

aneka warnanya. perlahan,

kausingkirkan darah di luka-luka jemariku

aku terpejam-pejam

lalu kau kembali ke pucuk pohon itu



Kalimantan Selatan, 31 Agustus 2010

Rayuan Selia

setangkai persik merah kaulekatkan di hatiku siang itu

wajahmu yang oval tersenyum manja

lalu kita sama berdiri

memandang barisan gerimis yang merekahkan

bunga-bunga rafflesia arnoldi

kutatap kau, tanganmu geming

bulat matamu tengadah, menghindar tatapanku yang tajam

di hari itu pula kauraih jemariku perlahan

kita pun jalan santai, disekat tabir merah saga

Kalimantan Selatan, 1 September 2010

Griya dan Selia

datanglah, selia

akan kusambut dirimu dengan suara nafiri dari deru beliungku

dan angin akan membelai rambutmu yang tergerai

setibanya nanti,

dekaplah griya ini erat-erat bersama jenjang lehermu

yang memendam banda. lalu lihatlah dengan batin

sederet kematian berkibar di tiang-tiang bendera, suram membatu

di sini tak ada anggur, tak ada wewangian perayu

yang ada hanya tamarindus indica yang mendengus

siap menyembulkan sengatan asam di alam yang temaram

walau pun begitu, griyaku ini, griyamu pula, selia

maka datanglah bersama cinta

Kalimantan Selatan, 2 September 2010

Maafkan Aku Selia

selia, aku tak bisa melukis sebilah puisi pun pagi ini

sebait-bait, selarik-larik tak tergores, geming di angin dingin

jemari mungilku telah terjerat oleh sihir yang pekat

hatiku tertawan pula pada kepak sayap rangkong

mengitari liang-liang kubur yang kaugali siang malam

selia, maafkan pula aku yang tak lagi bisa bersyair,

bahkan berkarmina sekalipun

pikiranku memerah mengarah ke sulur-sulur di bawah kakimu

yang menangis, memelas, memohon, dan kian terpinggirkan

lalu daging siapa yang tak terenyuh oleh mereka? kecuali kau!

di pagi ini aku teringat yessika di atas pucuk cemaramu

tapi aku tak sedang ingin membahasnya

telingaku tertuju pada suaramu yang menggelegar

mendentumi seisi alam,

meruntuhkan gedung-gedung di setiap rona hati

oh selia, pagi ini aku benar-benar lemas dan,

hanya bunga kangkung ungu ini yang dapat kusampaikan padamu

Kalimantan Selatan, 3 September 2010

Antara Selia dan Yessika

kubebat luka di tangan selia pada rintik kabut pagi yang abu-abu

wangi rambutnya masih berjuntai

lekat bagai lumut di dinding daging yang melunak

sepanjang jalan aku mengenangnya

alisnya, dagunya, dan lentik rambut matanya selalu tersenyum

dan, angin terus menyeringai melihatnya

di suatu petang, tanpa tedeng aling-aling, yessika datang

menyapaku pula dengan nyanyian lembutnya

dia masih berdiri tegak serupa tiang pancang

yang menjulang ke langit

wajahnya terlihat bersih dengan kelopak mata sawo matang

bibirnya halus serupa pintu gerbang sebuah loka

yang terus memuntahkan suara yang menghujam

meruntuhkan batu-batu cadas

selia dan yessika, seperti perayu dan penyeru

jalanku yang semula gontai mulai gopoh melihat keduanya

sembari duduk kelelahan aku pun menanya

mengapa mereka ada?

Kalimantan Selatan, 5 September 2010

Sajak dan Sebuah Nama

di bait pertama yang kausiulkan di sebuah senja

ada segores ngilu mendekap pertiwi yang meranggas

rimanya berdentang menggetarkan bulan perak

yang kemerahan dikandungan raga. kausiulkan pula

bait-bait setelahnya dengan engah-engahmu

sungguh di siulan serakmu ada kelam keciak

itulah biduri bulan indah buatku darimu

setiap pagi, setiap petang

namamu menjadi napas setiap larik yang kulukis dengan darah

dari sulur-sulur yang terbuang

selia. ya, hanya sebuah nama

dengan itu aku menyentilmu

yang masih menari dan menenggak anggur wangi

di kursi sutera megahmu

Kalimantan Selatan, 4 September 2010

Perahu Layar

apakah perahu layarmu hampir selesai

banjir bandang ini kian menanjak ke puncak penghabisan bulan

lantai-lantai dan dinding-dinding di atas bukit pun terendam,

basah gelisah

nyaris pula menjadi lautan di bagian tengah atapnya yang kemilau

lihatlah, rekahkan kelopak batinmu, selia

malam-malam telah meredam terang, tinggal sepenggelan akhir

matanya siap menatap air yang akan bergulung-gulung,

ber-ikan cantik, bermutiara indah,

dan diembusi angin kencang yang menari-nari

lalu memecah-mecah,

terhambur di tepian pantai zaman di hari-hari depan

oh! banjir ini kian memuncak, selia. memuncak!

siap menenggelamkan apa yang ada di hadapanya

dan kau, perlu perahu dengan layar-layar imanmu

aku dan dia pun memerlukan perahu serupa

perahu yang diolah dengan jiwa bening

Kalimantan Selatan, 6 September 2010

Di Ujung Daratan Ini

selia, sebentar lagi kita kan bertualang

mengembangkan layar lebar-lebar

mengarungi gelombang, menembus badai laut ganas

bersama setumpuk bekal di daging kenyal yang merah

selia, sudah siapkah kau jika berada di laut sana

didekap jerit nyanyian malam

dihujam tarian ikan-ikan

diembusi angin-angin gatal

dierami burung-burung cantik

di bawah sebait gerimis bersama matahari yang semburat

dan terus beringsut ke barat

oh selia, di ujung ini

masih tersisa beberapa jengkal daratan saja

kaislah tanah-tanah dengan cakarmu

di bawah nyala api yang memancar

dan di pagi ini, kita sama menghadap lautan

menemui anginnya di pesisir yang memukau pandang

Kalimantan Selatan, 7 September 2010

Luka pada Malam

di bawah lengkung langit yang lindap mereka menyalak

nanar pandangan tiap-tiapnya bagai badai menerkam jejak

mereka terkoyak, tertindas dan terlindas dengan linangan darah

oleh angin yang membawa duka selama tahunan penuh luka

aku tercenung

di ujung ini seseorang malah melukis sergah

seperti cahaya berpendaran di atas air bergelombang

lalu aku teringat kau, selia,

aku ingin suarmu memenda perangai mereka

serupa tabib memirik daun begonia glabra

menyulam luka-luka yang menganga

Kalimantan Selatan, 8 September 2010

Hati yang Bertaut pada Angin

kala bulan sabit di atas layar-layar di taman ombak

di sela-sela batu karang, dahaga telah pecah, berasa basah

sepinggan biji padi melesapkan suara kersik

dari tiap-tiap lambung fana

sajadah-sajadah dihampar di tanah lapang, memanjang melebar

orang-orang sama berdiri mengulum mutiara

menangkap senyum yang terdedah dari bibir-bibir muda

tangan-tangan pun seakan tali-temali yang dijerat erat-erat

meluluhkan tabir-tabir merah saga yang bertahta di tengah sawah

oh, pagi ini jemariku ingin bertualang

mendekap kalian satu-satu di besok pagi yang hangat sangat

tapi kabut pekat menyaput pandang mengekang jejak

dan aku masih bersidekap dalam renung patung

yang sesekali kusunggingkan senyum pada hampa

di setiap dindingnya

lewat secarik risik angin yang melayang

kuhaturkan genggam jemariku

merengkuh tautan sambil menyulam cinta yang panjang

dan kulukiskan sederet fonem syahdu yang kupetik dari kebun bunga pada kalian mendenyutkan cinta di antara kita

Kalimantan Selatan, 9 September 2010



Kucing Kuning

seekor kucing kuning duduk di atas dua pahaku

kelopak matanya terpejam seakan lenguh lesu

bibir merahnya tersenyum meredam dendam di atas lembang

terkadang dia tergelak-gelak, nyaringnya menyita pandang

taringnya yang kekuningan menyembul

lalu dirinya pulas melingkar

di sela-sela senyap, dia semburkan serentet igauan,

"Bagianku"

"Bagianku"

"Mana? Mana?"

mataku terbelalak nanar

orang-orang lain pun nyengir

mendengar nyinyir dalam tidurnya yang riuh ramai

Kalimantan Selatan, 13 September 2010

Bulan Bumi

di setiap lengkung langit bertangan tunggal

kulihat air mukamu cerah di kala ribuan bintang memancar

tapi, kutemukan kelopak parasmu mengatup,

pejam merangkul lebam

membuliri pipi bumi yang tertidur

antara luka dan duka dari sebuah lupa

mengapa tak kau dedahkan lebar-lebar

mengarahkan pandangan, menyelisik,

ke tiap-tiap celah semesta nyata

dedahkan! dedahkan!

lihatlah lekat-lekat!

air bergenang-genang anyir di jalan yang pernah kita lalui

orang-orang sama berenang dengan megap-mengap

ikan-ikan berloncatan memecah lautan beku

kupu-kupu berterbangan dengan sayap luka

wajah-wajah tirus menggalaukan hati-hati di jurang curam

dan seakan semuanya ialah abadi

bulan, masih kutunggu matamu

yang bulat perak itu di sini menatap alam

mengeluarkannya dari buncah yang panjang

satu demi satu

Kalimantan Selatan, 14 September 2010

Pohon Tandus di Senja Saga

jangat pohon yang dipijak selia telah retak retai

ada liang di tengahnya, dijejali angin-angin pongah

jalan-jalan di dahannya pun seperti kelemayar, yang berpendar

aku tercenung kala selia turun

begitupun ketika dia terbang

katanya, itu semua untuk manusia-manusia papa

tapi, tidak!

itu demi kekuasaan

demi dirinya!

selia memang gaib dan ajaib di lenggek tertinggi

kini, pohon yang dipijak selia kian ranggas

buahnya, daunnya, cabangnya, dan rantingnya disebar

menuai resah, mengundang limbah

lalu air melimpah, angin mengamuk,

sebagian manusia bersungut-sungut

dan, selia tetaplah selia

wajahnya selalu mendongak menjuakkan kehendak yang melangit

Kalimantan Selatan, 15 September 2010



Celamu di Ujung Daun

kulihat kilat-kilat di senja ini seperti keris panjang menyayat langit

seketika itu pula kaugeraikan rambutmu dengan indahnya

melilit pada batang-batang runcing di tiap media lapang tak berpintu

masih kuingat, mengatas bajumu, bibirmu, dan pukaumu

turun menelusup halus sampai ke hulu-hulu

menusuk-nusuk

terasa pedih yang berujung sedih

kau juga menghamburkan nyanyian, peluru, dan tarian

terus-menerus selama diriku masih di luar jurangmu yang menganga

Kalimantan Selatan, 16 September 2010

Kau Batu yang Beku

aku duduk di terasmu saat bulan sedang hilang

kulihat ada gitar klasik menganggur tanpa derap nadi

tergeletak di bawah meja bertaplak debu duka

lalu kau datang tatkala orang-orang menyetem senar-senarnya

sambil tersenyum kauelus kepala bocah-bocah

mereka kegirangan serupa bebek-bebek diberi pakan

lalu kau beranjak pergi

terbang bersama elang dan gagak berbulu hitam

di atas sana cakarmu mengkilat

mencengkram hewan-hewan kecil

lalu kaumakan semuannya

hingga tinggal tulang-belulang saja di antara helai-helai rambutmu

suatu waktu kudengar embusan dari balik tanah

ya, itulah angin yang menggiring jejak para tualang mengejarmu

bergumul dengan deru dan perkelahian zaman

menyerumu

merayumu

berusaha mengembalikanmu bernurani

tapi, kau tetap saja bertubuh batu yang gemar mematung beku

Kalimantan Selatan, 17 September 2010

Selaku Burung di Pucuk Cemara

izinkan aku memetik rambut dari lambungmu

yang kautanam sejak senja menguning beberapa tahun silam

tapi, kau jangan meringis saat kuiris kulit luarnya yang halus

singkap matamu, dan kau tak akan tersedu kala aku melepasnya

di terasmu ini, seduhilah aku secangkir darah perawan laut

namun, pilih yang sewarna gelombang lepas

aku tak mau yang merah, apalagi berbau amis

aku ingin, tubuhmu kauperas segigih camar yang terus tertatih

lalu kucurkan keringatmu

ke tanah-tanah bertuan sepi dan berwajah tandus

maka akan tumbuh berkuntum-kuntum wangi di tubuhku dan tubuhmu

di temaram malam,

lihatlah bulan dengan lentik jemarimu yang ungu

arahkan pandangmu pada samudera di bawahnya yang meratap

bergulung-gulung dan memecah sunyinya rimba alam kita

pagi ini,

udara sejuk merisik di sela-sela batu sungai yang tak sepermai dulu

mereka menunggumu melesapkan jamur-jamur liar dan nakal

bersama pedang bumi panjang di tangan kananmu

Kalimantan Selatan, 18 September 2010

Mungkin

mungkin kau telah lupa

sambil mereguk gelombang dan hati yang membuncah

mereka menampar paras kita berulang kali

merongrong kibar kain berdebu di belantara besi-besi yang karatan

mungkin kau juga meredam dendam di balik batu pualam

saat mereka rapuhkan temali jembatan yang merebah di atas lautan

mungkin matamu nanar

melihat dedemit saling serang,

pelaman saling hujat,

dan pendekar saling menghunus pedang

mengeruhkan lautan yang nyaris berwarna merah berkilatan

dan, mereka yang bicara berlagu, mereka yang bersarung

terus memaksa kita menyerang dengan senjata

aku berpikir, mungkin kau pun membaca akal mereka

hingga detik ini pun kau masih diam

Kalimantan Selatan, 20 September 2010

Lelaki Senja

sebilah awan yang kautitipkan pada hujan

belum cukup memecah langit

dan menghamburkan bintang-gemintang

begitu pun tanganmu, masih mungil untuk disebut halilintar senja

terlebihi hidungmu, hanya mampu membau aroma kentang

di taman surgamu yang bergenang sungai-sungai ber-ikan fugu

dan, serimbun padi yang kausuapkan ke mulut singa tiap petang

hanyalah segundukan kecil krikil di kaki matahari

ya, matahari bulat jingga

yang menyemburkan besi pijar ke rerumputan

hingga siang menyengat sangat di balik lenganmu yang dingin

rintik hujan lesap

dilahap cintanya sendiri saat kau lelap dalam bayang

sementara semerbak jasminum sambac di kaki bukit

hanyalah memoar

yang terselip antara daun-daun kangkung di rawa-rawa kita

aku mengenangnya, merinduinya,

kau belum menumbuhkannya kembali

Kalimantan Selatan, 21 September 2010




Di bawah ini saya sajikan puisi-puisi saya dalam bentuk tulisan sederhana.

Tidak ada komentar: