Mengajakmu
selia,
sudikah, jika tanganmu yang bagai kelemayar kugandeng mesra
kita sisiri tanah-tanah huma, riak-riak sungai,
dan gambut-gambut legam. akan kutunjukkan padamu kayu-kayu
tak berjangat, juga laluan retak dan terburai
kala kau letih, akan kusilakan dirimu merebah
tanpa kipasan di bawah terik kerontang
jika kau lapar dan dahaga
akan kuhidangkan piring dan gelas kaca yang kosong
kubiarkan saja begitu, agar kau reguk dalam-dalam fenomena ketar
listrik padam, harga beras mahal, air bersih macet total
dan sebelum kau pulang, aku akan menanya,
siapakah kau yang selama ini duduk di antara malai mewangi
Kalimantan Selatan, 16 Mei 2010
Senjang
kilau wajahmu, oh selia
membabat deru pendedah malakutmu kala jerimu terlonjak
di senja merah
sesaat lidahku kelu saat rembukmu melekati batu belah
kian membelah dan memisah,
bagai kedua bibirmu saat disela napas-napas besar
terus seperti itu, memihak bunga-bunga berjelaga dalam kelam
sementara sulur-sulur di bawah batu
hanyalah rimpi yang kaumakan dengan nafsu di persenjangan ini
Kalimantan Selatan, 23 Mei 2010
Aku Rindu Suaramu
di antara angin santun kau masih berdiri dekat ringkik kudamu
sambil bermusik, rambutmu yang lurus kausibak,
terbelah dua, sungguh berbinar-binar
memaksa burung-burung pulang ke sarang mengibas sayap
mengusir debu, dengan mata menyala dan kepala yang mendongak
setiap hari kudengar kau bermain gitar klasik di serambi depan
tanganmu yang gemulai mendayukan suaranya
melebihi syair lampau yang merayu-rayu
lalu di mana suara beningmu, selia?
di sini, yang ada suara gitarmu saja
setiap sore, setiap petang aku menunggu suaramu
suara yang pernah membuatku jatuh hati pada kersik pasir
dan juga daun-daun lalang. berkali-kali pula air kopiku mendingin,
tapi suaramu tetap tak kudengar walau sekadar membelaiku
kini aku seperti remaja yang merindu, selia
menatap sepi di tanah kita yang semula hijau memukau
sementara waktu tak mau berhenti
dan aku masih merindukan suaramu
Kalimantan Selatan, 30 Agustus 2010
Bersama Selia
selia, ingatkah di pinggir jalan ini kau pernah menyapaku
senyummu merekah meredam dendam. begitu renyah kumamah
binar matamu disertai rambut hitam jengatnya
seakan deras hujan mengguyur bara-bara di dahaga
yang memanjang
dan tepat di bawah matahari bulat memancar
kaugenggam sebuah sapu tangan bermotif kotak kotak kecil,
aneka warnanya. perlahan,
kausingkirkan darah di luka-luka jemariku
aku terpejam-pejam
lalu kau kembali ke pucuk pohon itu
Kalimantan Selatan, 31 Agustus 2010
Rayuan Selia
setangkai persik merah kaulekatkan di hatiku siang itu
wajahmu yang oval tersenyum manja
lalu kita sama berdiri
memandang barisan gerimis yang merekahkan
bunga-bunga rafflesia arnoldi
kutatap kau, tanganmu geming
bulat matamu tengadah, menghindar tatapanku yang tajam
di hari itu pula kauraih jemariku perlahan
kita pun jalan santai, disekat tabir merah saga
Kalimantan Selatan, 1 September 2010
Griya dan Selia
datanglah, selia
akan kusambut dirimu dengan suara nafiri dari deru beliungku
dan angin akan membelai rambutmu yang tergerai
setibanya nanti,
dekaplah griya ini erat-erat bersama jenjang lehermu
yang memendam banda. lalu lihatlah dengan batin
sederet kematian berkibar di tiang-tiang bendera, suram membatu
di sini tak ada anggur, tak ada wewangian perayu
yang ada hanya tamarindus indica yang mendengus
siap menyembulkan sengatan asam di alam yang temaram
walau pun begitu, griyaku ini, griyamu pula, selia
maka datanglah bersama cinta
Kalimantan Selatan, 2 September 2010
Maafkan Aku Selia
selia, aku tak bisa melukis sebilah puisi pun pagi ini
sebait-bait, selarik-larik tak tergores, geming di angin dingin
jemari mungilku telah terjerat oleh sihir yang pekat
hatiku tertawan pula pada kepak sayap rangkong
mengitari liang-liang kubur yang kaugali siang malam
selia, maafkan pula aku yang tak lagi bisa bersyair,
bahkan berkarmina sekalipun
pikiranku memerah mengarah ke sulur-sulur di bawah kakimu
yang menangis, memelas, memohon, dan kian terpinggirkan
lalu daging siapa yang tak terenyuh oleh mereka? kecuali kau!
di pagi ini aku teringat yessika di atas pucuk cemaramu
tapi aku tak sedang ingin membahasnya
telingaku tertuju pada suaramu yang menggelegar
mendentumi seisi alam,
meruntuhkan gedung-gedung di setiap rona hati
oh selia, pagi ini aku benar-benar lemas dan,
hanya bunga kangkung ungu ini yang dapat kusampaikan padamu
Kalimantan Selatan, 3 September 2010
Antara Selia dan Yessika
kubebat luka di tangan selia pada rintik kabut pagi yang abu-abu
wangi rambutnya masih berjuntai
lekat bagai lumut di dinding daging yang melunak
sepanjang jalan aku mengenangnya
alisnya, dagunya, dan lentik rambut matanya selalu tersenyum
dan, angin terus menyeringai melihatnya
di suatu petang, tanpa tedeng aling-aling, yessika datang
menyapaku pula dengan nyanyian lembutnya
dia masih berdiri tegak serupa tiang pancang
yang menjulang ke langit
wajahnya terlihat bersih dengan kelopak mata sawo matang
bibirnya halus serupa pintu gerbang sebuah loka
yang terus memuntahkan suara yang menghujam
meruntuhkan batu-batu cadas
selia dan yessika, seperti perayu dan penyeru
jalanku yang semula gontai mulai gopoh melihat keduanya
sembari duduk kelelahan aku pun menanya
mengapa mereka ada?
Kalimantan Selatan, 5 September 2010
Sajak dan Sebuah Nama
di bait pertama yang kausiulkan di sebuah senja
ada segores ngilu mendekap pertiwi yang meranggas
rimanya berdentang menggetarkan bulan perak
yang kemerahan dikandungan raga. kausiulkan pula
bait-bait setelahnya dengan engah-engahmu
sungguh di siulan serakmu ada kelam keciak
itulah biduri bulan indah buatku darimu
setiap pagi, setiap petang
namamu menjadi napas setiap larik yang kulukis dengan darah
dari sulur-sulur yang terbuang
selia. ya, hanya sebuah nama
dengan itu aku menyentilmu
yang masih menari dan menenggak anggur wangi
di kursi sutera megahmu
Kalimantan Selatan, 4 September 2010
Perahu Layar
apakah perahu layarmu hampir selesai
banjir bandang ini kian menanjak ke puncak penghabisan bulan
lantai-lantai dan dinding-dinding di atas bukit pun terendam,
basah gelisah
nyaris pula menjadi lautan di bagian tengah atapnya yang kemilau
lihatlah, rekahkan kelopak batinmu, selia
malam-malam telah meredam terang, tinggal sepenggelan akhir
matanya siap menatap air yang akan bergulung-gulung,
ber-ikan cantik, bermutiara indah,
dan diembusi angin kencang yang menari-nari
lalu memecah-mecah,
terhambur di tepian pantai zaman di hari-hari depan
oh! banjir ini kian memuncak, selia. memuncak!
siap menenggelamkan apa yang ada di hadapanya
dan kau, perlu perahu dengan layar-layar imanmu
aku dan dia pun memerlukan perahu serupa
perahu yang diolah dengan jiwa bening
Kalimantan Selatan, 6 September 2010
Di Ujung Daratan Ini
selia, sebentar lagi kita kan bertualang
mengembangkan layar lebar-lebar
mengarungi gelombang, menembus badai laut ganas
bersama setumpuk bekal di daging kenyal yang merah
selia, sudah siapkah kau jika berada di laut sana
didekap jerit nyanyian malam
dihujam tarian ikan-ikan
diembusi angin-angin gatal
dierami burung-burung cantik
di bawah sebait gerimis bersama matahari yang semburat
dan terus beringsut ke barat
oh selia, di ujung ini
masih tersisa beberapa jengkal daratan saja
kaislah tanah-tanah dengan cakarmu
di bawah nyala api yang memancar
dan di pagi ini, kita sama menghadap lautan
menemui anginnya di pesisir yang memukau pandang
Kalimantan Selatan, 7 September 2010
Luka pada Malam
di bawah lengkung langit yang lindap mereka menyalak
nanar pandangan tiap-tiapnya bagai badai menerkam jejak
mereka terkoyak, tertindas dan terlindas dengan linangan darah
oleh angin yang membawa duka selama tahunan penuh luka
aku tercenung
di ujung ini seseorang malah melukis sergah
seperti cahaya berpendaran di atas air bergelombang
lalu aku teringat kau, selia,
aku ingin suarmu memenda perangai mereka
serupa tabib memirik daun begonia glabra
menyulam luka-luka yang menganga
Kalimantan Selatan, 8 September 2010
Hati yang Bertaut pada Angin
kala bulan sabit di atas layar-layar di taman ombak
di sela-sela batu karang, dahaga telah pecah, berasa basah
sepinggan biji padi melesapkan suara kersik
dari tiap-tiap lambung fana
sajadah-sajadah dihampar di tanah lapang, memanjang melebar
orang-orang sama berdiri mengulum mutiara
menangkap senyum yang terdedah dari bibir-bibir muda
tangan-tangan pun seakan tali-temali yang dijerat erat-erat
meluluhkan tabir-tabir merah saga yang bertahta di tengah sawah
oh, pagi ini jemariku ingin bertualang
mendekap kalian satu-satu di besok pagi yang hangat sangat
tapi kabut pekat menyaput pandang mengekang jejak
dan aku masih bersidekap dalam renung patung
yang sesekali kusunggingkan senyum pada hampa
di setiap dindingnya
lewat secarik risik angin yang melayang
kuhaturkan genggam jemariku
merengkuh tautan sambil menyulam cinta yang panjang
dan kulukiskan sederet fonem syahdu yang kupetik dari kebun bunga pada kalian mendenyutkan cinta di antara kita
Kalimantan Selatan, 9 September 2010
Kucing Kuning
seekor kucing kuning duduk di atas dua pahaku
kelopak matanya terpejam seakan lenguh lesu
bibir merahnya tersenyum meredam dendam di atas lembang
terkadang dia tergelak-gelak, nyaringnya menyita pandang
taringnya yang kekuningan menyembul
lalu dirinya pulas melingkar
di sela-sela senyap, dia semburkan serentet igauan,
"Bagianku"
"Bagianku"
"Mana? Mana?"
mataku terbelalak nanar
orang-orang lain pun nyengir
mendengar nyinyir dalam tidurnya yang riuh ramai
Kalimantan Selatan, 13 September 2010
Bulan Bumi
di setiap lengkung langit bertangan tunggal
kulihat air mukamu cerah di kala ribuan bintang memancar
tapi, kutemukan kelopak parasmu mengatup,
pejam merangkul lebam
membuliri pipi bumi yang tertidur
antara luka dan duka dari sebuah lupa
mengapa tak kau dedahkan lebar-lebar
mengarahkan pandangan, menyelisik,
ke tiap-tiap celah semesta nyata
dedahkan! dedahkan!
lihatlah lekat-lekat!
air bergenang-genang anyir di jalan yang pernah kita lalui
orang-orang sama berenang dengan megap-mengap
ikan-ikan berloncatan memecah lautan beku
kupu-kupu berterbangan dengan sayap luka
wajah-wajah tirus menggalaukan hati-hati di jurang curam
dan seakan semuanya ialah abadi
bulan, masih kutunggu matamu
yang bulat perak itu di sini menatap alam
mengeluarkannya dari buncah yang panjang
satu demi satu
Kalimantan Selatan, 14 September 2010
Pohon Tandus di Senja Saga
jangat pohon yang dipijak selia telah retak retai
ada liang di tengahnya, dijejali angin-angin pongah
jalan-jalan di dahannya pun seperti kelemayar, yang berpendar
aku tercenung kala selia turun
begitupun ketika dia terbang
katanya, itu semua untuk manusia-manusia papa
tapi, tidak!
itu demi kekuasaan
demi dirinya!
selia memang gaib dan ajaib di lenggek tertinggi
kini, pohon yang dipijak selia kian ranggas
buahnya, daunnya, cabangnya, dan rantingnya disebar
menuai resah, mengundang limbah
lalu air melimpah, angin mengamuk,
sebagian manusia bersungut-sungut
dan, selia tetaplah selia
wajahnya selalu mendongak menjuakkan kehendak yang melangit
Kalimantan Selatan, 15 September 2010
Celamu di Ujung Daun
kulihat kilat-kilat di senja ini seperti keris panjang menyayat langit
seketika itu pula kaugeraikan rambutmu dengan indahnya
melilit pada batang-batang runcing di tiap media lapang tak berpintu
masih kuingat, mengatas bajumu, bibirmu, dan pukaumu
turun menelusup halus sampai ke hulu-hulu
menusuk-nusuk
terasa pedih yang berujung sedih
kau juga menghamburkan nyanyian, peluru, dan tarian
terus-menerus selama diriku masih di luar jurangmu yang menganga
Kalimantan Selatan, 16 September 2010
Kau Batu yang Beku
aku duduk di terasmu saat bulan sedang hilang
kulihat ada gitar klasik menganggur tanpa derap nadi
tergeletak di bawah meja bertaplak debu duka
lalu kau datang tatkala orang-orang menyetem senar-senarnya
sambil tersenyum kauelus kepala bocah-bocah
mereka kegirangan serupa bebek-bebek diberi pakan
lalu kau beranjak pergi
terbang bersama elang dan gagak berbulu hitam
di atas sana cakarmu mengkilat
mencengkram hewan-hewan kecil
lalu kaumakan semuannya
hingga tinggal tulang-belulang saja di antara helai-helai rambutmu
suatu waktu kudengar embusan dari balik tanah
ya, itulah angin yang menggiring jejak para tualang mengejarmu
bergumul dengan deru dan perkelahian zaman
menyerumu
merayumu
berusaha mengembalikanmu bernurani
tapi, kau tetap saja bertubuh batu yang gemar mematung beku
Kalimantan Selatan, 17 September 2010
Selaku Burung di Pucuk Cemara
izinkan aku memetik rambut dari lambungmu
yang kautanam sejak senja menguning beberapa tahun silam
tapi, kau jangan meringis saat kuiris kulit luarnya yang halus
singkap matamu, dan kau tak akan tersedu kala aku melepasnya
di terasmu ini, seduhilah aku secangkir darah perawan laut
namun, pilih yang sewarna gelombang lepas
aku tak mau yang merah, apalagi berbau amis
aku ingin, tubuhmu kauperas segigih camar yang terus tertatih
lalu kucurkan keringatmu
ke tanah-tanah bertuan sepi dan berwajah tandus
maka akan tumbuh berkuntum-kuntum wangi di tubuhku dan tubuhmu
di temaram malam,
lihatlah bulan dengan lentik jemarimu yang ungu
arahkan pandangmu pada samudera di bawahnya yang meratap
bergulung-gulung dan memecah sunyinya rimba alam kita
pagi ini,
udara sejuk merisik di sela-sela batu sungai yang tak sepermai dulu
mereka menunggumu melesapkan jamur-jamur liar dan nakal
bersama pedang bumi panjang di tangan kananmu
Kalimantan Selatan, 18 September 2010
Mungkin
mungkin kau telah lupa
sambil mereguk gelombang dan hati yang membuncah
mereka menampar paras kita berulang kali
merongrong kibar kain berdebu di belantara besi-besi yang karatan
mungkin kau juga meredam dendam di balik batu pualam
saat mereka rapuhkan temali jembatan yang merebah di atas lautan
mungkin matamu nanar
melihat dedemit saling serang,
pelaman saling hujat,
dan pendekar saling menghunus pedang
mengeruhkan lautan yang nyaris berwarna merah berkilatan
dan, mereka yang bicara berlagu, mereka yang bersarung
terus memaksa kita menyerang dengan senjata
aku berpikir, mungkin kau pun membaca akal mereka
hingga detik ini pun kau masih diam
Kalimantan Selatan, 20 September 2010
Lelaki Senja
sebilah awan yang kautitipkan pada hujan
belum cukup memecah langit
dan menghamburkan bintang-gemintang
begitu pun tanganmu, masih mungil untuk disebut halilintar senja
terlebihi hidungmu, hanya mampu membau aroma kentang
di taman surgamu yang bergenang sungai-sungai ber-ikan fugu
dan, serimbun padi yang kausuapkan ke mulut singa tiap petang
hanyalah segundukan kecil krikil di kaki matahari
ya, matahari bulat jingga
yang menyemburkan besi pijar ke rerumputan
hingga siang menyengat sangat di balik lenganmu yang dingin
rintik hujan lesap
dilahap cintanya sendiri saat kau lelap dalam bayang
sementara semerbak jasminum sambac di kaki bukit
hanyalah memoar
yang terselip antara daun-daun kangkung di rawa-rawa kita
aku mengenangnya, merinduinya,
kau belum menumbuhkannya kembali
Kalimantan Selatan, 21 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar