Retak-Retak Kehidupan
Temanku, pernahkah kautelan buah khuldi yang bergayut indah
di setiap dekapannya. Lalu perutmu kenyang dan bersendawa pula
Wahai temanku, aku sering menelannya bulat-bulat
dan, kutengadahkan jidatku ke langit-langit kamar
dengan sombongnya. Atau, kadang-kadang pula kutundukkan hatiku
ke ubin-ubin yang dingin meratapi kepedihan hidup
Temanku, pernahkah kaubinasakan semut lalu melupakannya
Jika itu pula pertanyaanmu, aku pun pernah bahkan lebih mengerikan lagi
hingga aku terkucil di ruang yang senyap dengan dinding-dinding beku
lalu aku pun menyendiri yang seakan sedang menapakan batin goyahku
Tersadarlah diriku, ini kian menggunung
Kemudian kucoba pelan mendaki ke awan-awan putih
atau kuhentikan tatkala imanku mengangkasa raya
Wahai teman, aku takut diri ini segera bersemayam
di awan-awan yang siap menerjang rumah-rumah penduduk
Dan, kematianlah yang tersisa dipersemayaman angan masa lalu
Puisi 2:
Bunga yang Kaupetik Lalu Kaumakan
Istriku, sudahkah kaubasuh wajah cantikmu untuk menatap lantai kesejukan
dan membersihkan daki-daki pada tangan dan lenganmu hingga terasa dingin di kepalamu. Begitu pula dengan daki-daki telinga dan kakimu, sudahkah jua kauhilangkan untuk bekalmu di setiap persinggahan dan kekekalan
Seandainya belum,
kaulakukanlah karena tak ada alasan lagi buatmu untuk tak menyegerakannya
Istriku, aku hanya dapat berbaring dan berkata dengan terbata-bata
Aku iri dengan orang-orang saleh yang gemar menundukkan nafsunya demi Tuhan
Hidupku hanyalah sebongkah angan kosong dengan mimpi-mimpi indah
Istriku, kauhindarilah hidup seperti hidupku yang meronta oleh kezalimanku
Aku jahat wahai istriku
Kau taatlah terus hingga kaudapati kematianmu yang baik dengan ridha-Nya
Puisi 3:
Senyumnya
Namanya adalah Siti dan kadang berganti Michele
Aku sering melihatnya bersama pakaiannya dan juga bayangan keduanya
menapaki jalan-jalan dengan raut wajah masam
Sesekali ia menatap lalu berpaling dari kenyataan
senyumnya terlalu mahal
untuk diberikan kepada dawai
yang bergetar
mengitari lorong-lorong sekitarnya
Aku melahapnya hingga habis
hingga yang tersisa hanyalah perihku
Puisi 4:
Bendera-Bendera yang Melambai
Tangisku belum lagi reda
tapi telah kautancapkan tombak-tombakmu yang siap menghujami musuhmu
pada siang yang kerontang
pada angin yang berhembus kencang
pada bulan yang temaram
pada tidurmu yang panjang
Rumah-rumahku belum lagi kubangun karena diterjang bencana
tapi kau sudah bersuara nyaring
hingga gigiku ngilu didera janji-janjimu
yang sulit kumasukkan dalam hati kecilku
Belum lagi tanah kuburan ini kering
tapi kau telah mencari pendamping hidup baru
untuk membantumu bertugas dari singgasanamu yang megah
belum lagi hutang bangsaku habis dikikis kekayaan hati
tapi, kau telah hamburkan uangku untuk kekuasaanmu
hingga diriku ini kaulupkan kembali seperti sedia kala
Dan, entah apa lagi yang akan kaulakukan untukku
Puisi 5:
Sayangku, Maafkan Aku
Sayangku, kau kubeli dengan keringatku
Lalu kau kujejerkan dengan sayang-sayangku yang lain
Begitu damai, tak ada percekcokan di antara kalian.
Sayangku, masih ingatkah kau saat kutelusuri wujudmu lembar demi lembar
hingga mataku lelah memandangimu. Kau pun menjadi sedikit kumal dan bertambah
kumal setiap aku selesai membalik lembaranmu.
Kini, aku lama tak melihatmu. Bahkan, kadang aku lupa dirimu
Pekerjaanku membuat kesetiaanku padamu memudar
Sedihnya, isimu sebagian besar melayang dari otakku
Wahai Sayangku, maafkanku telah menelantarkanmu
Puisi 1:
Pena yang Patah
Ini adalah sebuah kisah ribuan langkah
Mata batinku beku di kutub keengganan dengan bukit-bukit kemalasan yang menjulang tinggi. Aku mematung dengan hiasan mimpi di depan wajahku yang menggelinjang kuat dalam kegelapan hari-hariku. Lalu aku tersungkur dan tertelungkup di kolong meja dan kursi cahaya. Tubuhku terkapar tiada bergerak lagi dan pikiranku koma. Aku hampir mati rasa berbagi
Kertas-kertas kosong tetap saja bersih di tanganku
Tiada kutulis sebuah kata pun dan hidupku kosong tanpa teman yang mendekat, kecuali teman yang membisikkan keengganan dalam diriku. Ah, ini harus berakhir.
Puisi 2:
Panorama yang Disusun Rapi
Amboi! Kau begitu menggodaku malam ini dengan untaian kata di tubuhmu
Kau di mana beberapa bulan ini?
Di tangan diakah atau di tangan-tangan lainnya?
Telah lama aku mencarimu di lorong-lorong pintu teman-temanku
Bajumu kini telah kumal dan dagingmu pun kotor dihujani kezaliman
Rupanya mereka tak merawatmu
Ah, mereka memang zalim kepada dirimu
Kau yang begitu indah telah mereka sia-siakan
Mereka biarkan dirimu berdebu hingga tanganku pun menjadi kotor malam ini
Aku tahu kau merindui mata-mata cerah yang menatapmu dalam
Kini, kau kutatap dalam karena kau sangat indah hingga sebagian ingatanku kembali pulih dari lupaku. Aku pun menjadi segar setelah menatapmu dalam
Puisi 3:
Cakrawala Batin
Wahai temanku yang mengaku Islam, aku tak tahu siapa Tuhanmu
Allah azza wazzala, manusia, atau dirimu sendiri
Apakah Tuhamu mengajarkan dirimu untuk berpikir seperti Tuhanku memerintahkan diriku menggunakan akalku untuk memikirkan dunia dan akhirat kelak? Aku tak tahu apa isi kitab sucimu? Apakah sama dengan kitab suciku yang wajib kujadikan dinding bersama sunah Rasulku menapaki jalan yang berlubang-lubang? Hingga ketakwaan dalam din-ku disebut kehati-hatian. Lalu, apakah Tuhanmu mengajarkan dirimu untuk meluruskan sesamamu seperti Tuhanku memerintahkan diriku seperti itu dalam Annahl: 125? Ah, kau sungguh cantik dengan kata-katamu hingga orang-orang terbuai menjauhi ajaran-Nya yang bersih
Puisi 4:
Keseimbangan
Di suatu senja pak tua itu mengayuh becaknya dengan kedua kakinya yang berotot penuh perjuangan. Sepanjang siang tadi pak tua itu terus saja bekerja untuk dunia dengan diselingi ibadah maghdhah yang rutin. Keringatnya membasahi aspal-aspal yang juga dilalui orang lain tanpa permisi kepadanya. Padahal dia termasuk yang membayar biaya pembuatan jalan. Tubuh kurusnya dengan kulit hitam kelamnya terus saja menyusuri kota. Tapi, ia tak menyalahkan Tuhan atas nasibnya yang berat. Ia tidak pula ikut menyalahkan Tuhan yang menciptakan teriknya panas dan derasnya hujan di jalanan.
Akhirnya tubuh tuanya tersandar di dinding kamarnya dengan tubuh yang bersih dari debu-debu jalan. Bibirnya terus saja berkomat-kamit membaca tasbih, tahmid, takbir, dan juga menyeru keesaan-Nya dengan suara lirih. Suara lirihnya menandakan ia mengerti bahwa Tuhan maha mendengar yang mendengar setiap kata-katanya. Ia tidurkan matanya yang kemerahan di hamparan tikar. Lalu diberinya air pada muka hingga kaki untuk menghadap-Nya di sepertiga malam.
Puisi 5:
Prasangka Baik
Wahai tamanku! Lihatlah bulu birunya. Begitu menawan ’kan? Angin yang berhembus ke tubuh kita saat ini sangat terasa sejuk. Begitu pula dengan hujan kemarin yang membasahi sawahmu hingga daun-daun padimu hijau segar.
Temanku, aku masih ingat dengan gigimu yang gugur tiga biji kemarin sore. Ah, kau jangan menangisi gigimu itu karena alismu yang hitam pekat telah menghisap kepingan-kepingan rembulan. Temanku, kau jangan mengeluh atas nasibmu yang kadang-kadang pilu karena Tuhan tak pernah memberi kita kesakitan. Dia maha pengasih lagi penyayang. Kita-kita inilah yang menzalimi diri kita sendiri hingga mengharapkan malaikat maut segera datang menjemput. Tentu kau masih ingat tentang bersyukur ’kan? Bersyukur tentulah lebih baik daripada keingkaran kita terhadap nikmat-nikmat-Nya.
Puisi 1:
Malam di Perantauan
Sunyi dari suara tawa dan perbincangan
Aku duduk sendiri tanpa dikau di sisiku
Memandang langit yang murung jauh di sana
Seakan hari menjadi hilang dimakan bulan
Hujan rintik membasahi hatiku yang sedang sendiri
Mendesah dalam ruang yang ingin kutingalkan
Melihat dikau dalam monitor yang sangat sempit
Kusematkan air semangat dalam-dalam di jiwaku
Menatap hari depan yang kutunggu ‘kan mendukungku
Entah kapan datangnya
Mungkin besok atau...ah! Mungkin lusa....
‘Kan kutunggu dan kutunggu
hingga penat di pikiranku hilang di telan angkasa
Puisi 2:
Rembulan yang Kutunggu
Malam ini bukan rembulanku
Dia adalah malam orang-orang di sini
Aku ingin malam ini segera melaluiku
bagai roda sepeda bututku yang melalui tanah gambut yang terbakar
Kutempuh tidur malam tanpa selimut
Dingin tentulah kurasakan
Kursi empuk menjadi saksi gelisahku
Suara azan mengangkasa dari kejauhan
Membangkitkan hatiku dari kesedihan
Suara itu adalah anugerah dari-Nya
Hatiku riang karenanya
Sungguh dahsyat pemberian-Nya
Siang bersinar tak kuhiraukan
Hingga sore datang menyapa
Senja ikut bersama kebahagianku
Angin malam berhembus
Menemaniku dalam perjalanan yang jauh bersama rembulanku
Puisi 3:
Mengharapkan Hari Esok
Duduk sendiri ditemani tumpukan dan susunan buku
Sepi di atas debu yang rindu teman
Entah mangapa mereka tetap di sini
Mungkin mereka terlupakan
atau...
Mereka sengaja meramaikan jiwaku yang sepi
Detak jantungku menggema di dalam pelukan tubuh
Jasadku menjaganya dari alam yang tak ramah
Tubuhku satu dalam kesatuan hidup
Besok adalah hari yang bahagia bagiku
Menantinya di atas debu yang setia
Sabar dan damba bercampur dalam penantian
Puisi 4:
Duduk di Belakang Teman
Suara kendara mendayu-dayu di lubang pendengaran
Sore yang ceria dengan rambut basah oleh air semangat
Terasa gatal kulit kepala karena kemarin tak ada sabun
Ah...hanya gatal kepala, bukan gatal hati
Duduk bargetar di atas bantalan empuk
Santai menikmati ayunan teman di depan tatapanku
Dengan baju kaos biru temaku memandang ke depan
Berlalu dari aspal ke aspal
Sambil bercakap kami asyik berkendara
Hingga waktu pengahibasan kami berpisah
Sampai detik ini kami pun belum berjumpa mata
Apalagi duduk di belakangnya dalam nuansa tanahku
Puisi 5:
Perjalananku Bersama Angin Malam
Malam menjadi temanku saban minggu
Dia menatapku dari segala arah
Kadang aku duduk di depan
Kadang aku duduk di tengah, bahkan di belakang
Dan
kembali di depan.
Terasa tentram bersama malam yang syahdu
Diiringi dentuman lagu dan musik yang riang
Hatiku tertawa menuju tanahku yang kunanti
Berhias jaket hitam aku duduk yang seakan berlari
Berlari dalam dekapan waktu
Sesekali kubicara dengan rekan seperjalanan
Canda dan tawa kadang menyeruak dan meramaikan suasana
Sempat aku tertidur di bantalan kaca
Walau keras, tapi menyehatkan mataku
Dari jauh kulihat tempat persinggahan
Kuteruskan dengan dua roda
Hingga kuketuk pintu penantian dan kurebahkan tubuhku di alas kebahagiaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar