Senin, 19 Mei 2008

KUMPULAN PUISI 17 MAHMUD JAUHARI ALI

Puisi 1:

Retak-Retak Kehidupan


Temanku, pernahkah kautelan buah khuldi yang bergayut indah

di setiap dekapannya. Lalu perutmu kenyang dan bersendawa pula

Wahai temanku, aku sering menelannya bulat-bulat

dan, kutengadahkan jidatku ke langit-langit kamar

dengan sombongnya. Atau, kadang-kadang pula kutundukkan hatiku

ke ubin-ubin yang dingin meratapi kepedihan hidup


Temanku, pernahkah kaubinasakan semut lalu melupakannya

Jika itu pula pertanyaanmu, aku pun pernah bahkan lebih mengerikan lagi

hingga aku terkucil di ruang yang senyap dengan dinding-dinding beku

lalu aku pun menyendiri yang seakan sedang menapakan batin goyahku


Tersadarlah diriku, ini kian menggunung

Kemudian kucoba pelan mendaki ke awan-awan putih

atau kuhentikan tatkala imanku mengangkasa raya


Wahai teman, aku takut diri ini segera bersemayam

di awan-awan yang siap menerjang rumah-rumah penduduk


Dan, kematianlah yang tersisa dipersemayaman angan masa lalu


Puisi 2:

Bunga yang Kaupetik Lalu Kaumakan


Istriku, sudahkah kaubasuh wajah cantikmu untuk menatap lantai kesejukan

dan membersihkan daki-daki pada tangan dan lenganmu hingga terasa dingin di kepalamu. Begitu pula dengan daki-daki telinga dan kakimu, sudahkah jua kauhilangkan untuk bekalmu di setiap persinggahan dan kekekalan


Seandainya belum,

kaulakukanlah karena tak ada alasan lagi buatmu untuk tak menyegerakannya


Istriku, aku hanya dapat berbaring dan berkata dengan terbata-bata

Aku iri dengan orang-orang saleh yang gemar menundukkan nafsunya demi Tuhan


Hidupku hanyalah sebongkah angan kosong dengan mimpi-mimpi indah


Istriku, kauhindarilah hidup seperti hidupku yang meronta oleh kezalimanku

Aku jahat wahai istriku

Kau taatlah terus hingga kaudapati kematianmu yang baik dengan ridha-Nya


Puisi 3:

Senyumnya


Namanya adalah Siti dan kadang berganti Michele

Aku sering melihatnya bersama pakaiannya dan juga bayangan keduanya

menapaki jalan-jalan dengan raut wajah masam


Sesekali ia menatap lalu berpaling dari kenyataan

senyumnya terlalu mahal

untuk diberikan kepada dawai

yang bergetar

mengitari lorong-lorong sekitarnya


Aku melahapnya hingga habis

hingga yang tersisa hanyalah perihku


Puisi 4:

Bendera-Bendera yang Melambai


Tangisku belum lagi reda

tapi telah kautancapkan tombak-tombakmu yang siap menghujami musuhmu

pada siang yang kerontang

pada angin yang berhembus kencang

pada bulan yang temaram

pada tidurmu yang panjang


Rumah-rumahku belum lagi kubangun karena diterjang bencana

tapi kau sudah bersuara nyaring

hingga gigiku ngilu didera janji-janjimu

yang sulit kumasukkan dalam hati kecilku


Belum lagi tanah kuburan ini kering

tapi kau telah mencari pendamping hidup baru

untuk membantumu bertugas dari singgasanamu yang megah


belum lagi hutang bangsaku habis dikikis kekayaan hati

tapi, kau telah hamburkan uangku untuk kekuasaanmu

hingga diriku ini kaulupkan kembali seperti sedia kala


Dan, entah apa lagi yang akan kaulakukan untukku


Puisi 5:

Sayangku, Maafkan Aku


Sayangku, kau kubeli dengan keringatku

Lalu kau kujejerkan dengan sayang-sayangku yang lain

Begitu damai, tak ada percekcokan di antara kalian.


Sayangku, masih ingatkah kau saat kutelusuri wujudmu lembar demi lembar

hingga mataku lelah memandangimu. Kau pun menjadi sedikit kumal dan bertambah

kumal setiap aku selesai membalik lembaranmu.


Kini, aku lama tak melihatmu. Bahkan, kadang aku lupa dirimu

Pekerjaanku membuat kesetiaanku padamu memudar

Sedihnya, isimu sebagian besar melayang dari otakku


Wahai Sayangku, maafkanku telah menelantarkanmu



____________________________________________________
Kumpulan Puisi 16 Mahmud Jauhari Ali

Puisi 1:

Pena yang Patah


Ini adalah sebuah kisah ribuan langkah

Mata batinku beku di kutub keengganan dengan bukit-bukit kemalasan yang menjulang tinggi. Aku mematung dengan hiasan mimpi di depan wajahku yang menggelinjang kuat dalam kegelapan hari-hariku. Lalu aku tersungkur dan tertelungkup di kolong meja dan kursi cahaya. Tubuhku terkapar tiada bergerak lagi dan pikiranku koma. Aku hampir mati rasa berbagi


Kertas-kertas kosong tetap saja bersih di tanganku

Tiada kutulis sebuah kata pun dan hidupku kosong tanpa teman yang mendekat, kecuali teman yang membisikkan keengganan dalam diriku. Ah, ini harus berakhir.


Puisi 2:

Panorama yang Disusun Rapi


Amboi! Kau begitu menggodaku malam ini dengan untaian kata di tubuhmu

Kau di mana beberapa bulan ini?

Di tangan diakah atau di tangan-tangan lainnya?

Telah lama aku mencarimu di lorong-lorong pintu teman-temanku


Bajumu kini telah kumal dan dagingmu pun kotor dihujani kezaliman

Rupanya mereka tak merawatmu

Ah, mereka memang zalim kepada dirimu


Kau yang begitu indah telah mereka sia-siakan

Mereka biarkan dirimu berdebu hingga tanganku pun menjadi kotor malam ini

Aku tahu kau merindui mata-mata cerah yang menatapmu dalam


Kini, kau kutatap dalam karena kau sangat indah hingga sebagian ingatanku kembali pulih dari lupaku. Aku pun menjadi segar setelah menatapmu dalam


Puisi 3:

Cakrawala Batin


Wahai temanku yang mengaku Islam, aku tak tahu siapa Tuhanmu

Allah azza wazzala, manusia, atau dirimu sendiri

Apakah Tuhamu mengajarkan dirimu untuk berpikir seperti Tuhanku memerintahkan diriku menggunakan akalku untuk memikirkan dunia dan akhirat kelak? Aku tak tahu apa isi kitab sucimu? Apakah sama dengan kitab suciku yang wajib kujadikan dinding bersama sunah Rasulku menapaki jalan yang berlubang-lubang? Hingga ketakwaan dalam din-ku disebut kehati-hatian. Lalu, apakah Tuhanmu mengajarkan dirimu untuk meluruskan sesamamu seperti Tuhanku memerintahkan diriku seperti itu dalam Annahl: 125? Ah, kau sungguh cantik dengan kata-katamu hingga orang-orang terbuai menjauhi ajaran-Nya yang bersih


Puisi 4:

Keseimbangan


Di suatu senja pak tua itu mengayuh becaknya dengan kedua kakinya yang berotot penuh perjuangan. Sepanjang siang tadi pak tua itu terus saja bekerja untuk dunia dengan diselingi ibadah maghdhah yang rutin. Keringatnya membasahi aspal-aspal yang juga dilalui orang lain tanpa permisi kepadanya. Padahal dia termasuk yang membayar biaya pembuatan jalan. Tubuh kurusnya dengan kulit hitam kelamnya terus saja menyusuri kota. Tapi, ia tak menyalahkan Tuhan atas nasibnya yang berat. Ia tidak pula ikut menyalahkan Tuhan yang menciptakan teriknya panas dan derasnya hujan di jalanan.


Akhirnya tubuh tuanya tersandar di dinding kamarnya dengan tubuh yang bersih dari debu-debu jalan. Bibirnya terus saja berkomat-kamit membaca tasbih, tahmid, takbir, dan juga menyeru keesaan-Nya dengan suara lirih. Suara lirihnya menandakan ia mengerti bahwa Tuhan maha mendengar yang mendengar setiap kata-katanya. Ia tidurkan matanya yang kemerahan di hamparan tikar. Lalu diberinya air pada muka hingga kaki untuk menghadap-Nya di sepertiga malam.


Puisi 5:

Prasangka Baik


Wahai tamanku! Lihatlah bulu birunya. Begitu menawan ’kan? Angin yang berhembus ke tubuh kita saat ini sangat terasa sejuk. Begitu pula dengan hujan kemarin yang membasahi sawahmu hingga daun-daun padimu hijau segar.


Temanku, aku masih ingat dengan gigimu yang gugur tiga biji kemarin sore. Ah, kau jangan menangisi gigimu itu karena alismu yang hitam pekat telah menghisap kepingan-kepingan rembulan. Temanku, kau jangan mengeluh atas nasibmu yang kadang-kadang pilu karena Tuhan tak pernah memberi kita kesakitan. Dia maha pengasih lagi penyayang. Kita-kita inilah yang menzalimi diri kita sendiri hingga mengharapkan malaikat maut segera datang menjemput. Tentu kau masih ingat tentang bersyukur ’kan? Bersyukur tentulah lebih baik daripada keingkaran kita terhadap nikmat-nikmat-Nya.

____________________________________________________
Kumpulan Puisi 15 Mahmud Jauhari Ali

Puisi 1:
Malam di Perantauan


Sunyi dari suara tawa dan perbincangan
Aku duduk sendiri tanpa dikau di sisiku
Memandang langit yang murung jauh di sana
Seakan hari menjadi hilang dimakan bulan

Hujan rintik membasahi hatiku yang sedang sendiri
Mendesah dalam ruang yang ingin kutingalkan
Melihat dikau dalam monitor yang sangat sempit

Kusematkan air semangat dalam-dalam di jiwaku
Menatap hari depan yang kutunggu ‘kan mendukungku

Entah kapan datangnya
Mungkin besok atau...ah! Mungkin lusa....
‘Kan kutunggu dan kutunggu
hingga penat di pikiranku hilang di telan angkasa

Puisi 2:
Rembulan yang Kutunggu


Malam ini bukan rembulanku
Dia adalah malam orang-orang di sini
Aku ingin malam ini segera melaluiku
bagai roda sepeda bututku yang melalui tanah gambut yang terbakar

Kutempuh tidur malam tanpa selimut
Dingin tentulah kurasakan
Kursi empuk menjadi saksi gelisahku

Suara azan mengangkasa dari kejauhan
Membangkitkan hatiku dari kesedihan
Suara itu adalah anugerah dari-Nya
Hatiku riang karenanya
Sungguh dahsyat pemberian-Nya

Siang bersinar tak kuhiraukan
Hingga sore datang menyapa
Senja ikut bersama kebahagianku
Angin malam berhembus
Menemaniku dalam perjalanan yang jauh bersama rembulanku

Puisi 3:
Mengharapkan Hari Esok

Duduk sendiri ditemani tumpukan dan susunan buku
Sepi di atas debu yang rindu teman
Entah mangapa mereka tetap di sini
Mungkin mereka terlupakan
atau...
Mereka sengaja meramaikan jiwaku yang sepi

Detak jantungku menggema di dalam pelukan tubuh
Jasadku menjaganya dari alam yang tak ramah
Tubuhku satu dalam kesatuan hidup

Besok adalah hari yang bahagia bagiku
Menantinya di atas debu yang setia

Sabar dan damba bercampur dalam penantian

Puisi 4:
Duduk di Belakang Teman

Suara kendara mendayu-dayu di lubang pendengaran
Sore yang ceria dengan rambut basah oleh air semangat
Terasa gatal kulit kepala karena kemarin tak ada sabun
Ah...hanya gatal kepala, bukan gatal hati

Duduk bargetar di atas bantalan empuk
Santai menikmati ayunan teman di depan tatapanku
Dengan baju kaos biru temaku memandang ke depan

Berlalu dari aspal ke aspal
Sambil bercakap kami asyik berkendara
Hingga waktu pengahibasan kami berpisah
Sampai detik ini kami pun belum berjumpa mata
Apalagi duduk di belakangnya dalam nuansa tanahku

Puisi 5:
Perjalananku Bersama Angin Malam


Malam menjadi temanku saban minggu
Dia menatapku dari segala arah
Kadang aku duduk di depan
Kadang aku duduk di tengah, bahkan di belakang
Dan
kembali di depan.

Terasa tentram bersama malam yang syahdu
Diiringi dentuman lagu dan musik yang riang

Hatiku tertawa menuju tanahku yang kunanti
Berhias jaket hitam aku duduk yang seakan berlari
Berlari dalam dekapan waktu

Sesekali kubicara dengan rekan seperjalanan
Canda dan tawa kadang menyeruak dan meramaikan suasana

Sempat aku tertidur di bantalan kaca
Walau keras, tapi menyehatkan mataku

Dari jauh kulihat tempat persinggahan
Kuteruskan dengan dua roda
Hingga kuketuk pintu penantian dan kurebahkan tubuhku di alas kebahagiaan

Tidak ada komentar: