Puisi-Puisi Mahmud Jauhari Ali
Puisi 1:
Ketenangan Jiwa
Air suci dari gunung mengalir deras membasuh jasad
Terasa sejuk di hati sembari menatap birunya langit
Terdengar kicauan camar menghiasi aroma alam hijau nan ramah
Kaki melangkah menapaki krikil padu menghampiri suara adzan yang mengangkasa
Semakin terasa tenangnya jiwa merangkul saudara seiman yang telah menanti
Bersama berdiri dan sujud kepada Penguasa semesta
Semakin bertambah terasa tenangnya jiwa yang awalnya berkecamuk
Kecamuk yang tiada henti menjadi ketenangan jiwa yang tak tergantikan
Puisi 2:
Menjahit Jurang Perbedaan
Berdasi penuh wibawa
Menuju dengan besi mewah penuh warna
Mengenakan baju kotor
Berlumur tanah pingir jalan
Makan mewah seraya duduk di kursi busa
Menyantap pangan seadanya di bawah naungnya pepohonan rindang
Mandi dengan guyuran air hangat dan wangi
Menceburkan diri di sungai yang tak jernih
Tapi,
Perbedaan itu lenyap tatkala berjamaah dengan khusyu
Sungguh berjamaah menjahit jurang perbedaan
Menuju persamaan yang hakiki
Puisi 3:
Waktu yang Terbuang
Hari-hari melintasi waktu yang terus berlari mengejar usia
Tiada memberi makna pada waktu yang tersisa
Berilmu dengan kemiskinan akal menyusuri hidup yang kerontang
Hanya dunia dan dunia
Malam, Subuh, Siang, Sore, dan Senja hanya menjadi hiasan alam
Membuang waktu-waktu yang telah tertata
Sungguh rugi tak memanfaatkan waktu tuk ibadah
Dan, itu…
Ketakyukuran insan yang nyata
Puisi 4:
Babak Baru
Suara terompet mengawali dentuman detak peralihan waktu
Sorak-soray mendampingi letusan warna-warni di udara malam
Terang dan ramai adalah karib setiap awal tahun yang dinanti
Berbagai ucapan dilontarkan dari segala penjuru dunia
Tanda dimulainya babak baru yang penuh harapan
Babak baru yang perlu jiwa baru tuk menjadi arif dan bijaksana
Perlu rencana baru dengan sejuta cita-cita,
Dan
Semangat baru bak gelombang laut yang tak pernah lelah
Bangkit!
Berjuang!
Tuk membangun negeri ini
Menuju masyarakat yang berwibawa
Puisi 5:
Suara dari Bawah
Berteriak, meronta, bahkan nyawa telah terbang
Gelombng-gelombang dari pita suara telah bercampur dengan darah
Pekik di telinga tak banyak dirasa, walau demi rakyat
Banyak rakyat menderita dan bersuara
Tapi sekali lagi,
Banyak tak dirasa
Kita telah merdeka
Seharusnya adil dan makmur
Tapi,….
Sampai kapan ini terjadi
Tak ada manusia yang mampu menjawabnya
Suara-suara itu masih tetap ada
Tetap ada selama keadilan dan kemakmuran belum merakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar