Sabtu, 05 Januari 2008

KUMPULAN PUISI 3 MAHMUD JAUHARI ALI

Puisi-Puisi Mahmud Jauhari Ali


Puisi 1:

Ketenangan Jiwa


Air suci dari gunung mengalir deras membasuh jasad
Terasa sejuk di hati sembari menatap birunya langit

Terdengar kicauan camar menghiasi aroma alam hijau nan ramah

Kaki melangkah menapaki krikil padu menghampiri suara adzan yang mengangkasa

Semakin terasa tenangnya jiwa merangkul saudara seiman yang telah menanti
Bersama berdiri dan sujud kepada Penguasa semesta

Semakin bertambah terasa tenangnya jiwa yang awalnya berkecamuk
Kecamuk yang tiada henti menjadi ketenangan jiwa yang tak tergantikan


Puisi 2:

Menjahit Jurang Perbedaan


Berdasi penuh wibawa
Menuju dengan besi mewah penuh warna

Mengenakan baju kotor
Berlumur tanah pingir jalan

Makan mewah seraya duduk di kursi busa

Menyantap pangan seadanya di bawah naungnya pepohonan rindang

Mandi dengan guyuran air hangat dan wangi

Menceburkan diri di sungai yang tak jernih

Tapi,

Perbedaan itu lenyap tatkala berjamaah dengan khusyu

Sungguh berjamaah menjahit jurang perbedaan
Menuju persamaan yang hakiki



Puisi 3:

Waktu yang Terbuang


Hari-hari melintasi waktu yang terus berlari mengejar usia

Tiada memberi makna pada waktu yang tersisa

Berilmu dengan kemiskinan akal menyusuri hidup yang kerontang
Hanya dunia dan dunia

Malam, Subuh, Siang, Sore, dan Senja hanya menjadi hiasan alam
Membuang waktu-waktu yang telah tertata

Sungguh rugi tak memanfaatkan waktu tuk ibadah
Dan, itu…
Ketakyukuran insan yang nyata


Puisi 4:

Babak Baru

Suara terompet mengawali dentuman detak peralihan waktu
Sorak-soray mendampingi letusan warna-warni di udara malam

Terang dan ramai adalah karib setiap awal tahun yang dinanti

Berbagai ucapan dilontarkan dari segala penjuru dunia
Tanda dimulainya babak baru yang penuh harapan

Babak baru yang perlu jiwa baru tuk menjadi arif dan bijaksana
Perlu rencana baru dengan sejuta cita-cita,
Dan
Semangat baru bak gelombang laut yang tak pernah lelah

Bangkit!

Berjuang!

Tuk membangun negeri ini
Menuju masyarakat yang berwibawa



Puisi 5:

Suara dari Bawah

Berteriak, meronta, bahkan nyawa telah terbang
Gelombng-gelombang dari pita suara telah bercampur dengan darah
Pekik di telinga tak banyak dirasa, walau demi rakyat

Banyak rakyat menderita dan bersuara

Tapi sekali lagi,
Banyak tak dirasa

Kita telah merdeka
Seharusnya adil dan makmur
Tapi,….

Sampai kapan ini terjadi

Tak ada manusia yang mampu menjawabnya

Suara-suara itu masih tetap ada
Tetap ada selama keadilan dan kemakmuran belum merakyat

Tidak ada komentar: